Kelompok pendukung ujian nasional pada
umumnya menganggap bahwa ujian nasional masih diperlukan, terutama untuk
kepentingan pengendalian mutu pendidikan secara nasional dan penegakan
akuntabilitas pengelola dan penyelenggara pendidikan. Sementara, dari
pihak yang menolak kehadiran Ujian Nasional menganggap bahwa kehadiran Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan
telah banyak madlaratnya dari pada manfaatnya, baik dilihat dari sisi
psikologis, ekonomis, yuridis dan terutama pedagogis. [lihat tulisan
ini: Kemdikbud, lakukan reposisi terhadap Ujian Nasional!]
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan
PGRI pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sebagian besar guru, kepala
sekolah, dan pengawas sekolah menganggap kebijakan ujian nasional (UN)
tidak tepat. Sebanyak 28,57 persen, guru menganggap UN sebagai
kebijakan yang tidak tepat, dan 42,86 persen sangat tidak tepat. Kepala
sekolah menganggap kebijakan UN tidak tepat 26,15 persen, dan 49.23
persen menganggap kebijakan UN sangat tidak tepat. Adapun pengawas
sekolah sebanyak 27 persen menganggap kebijakan UN tidak tepat dan
sangat tidak tepat 41,77 persen. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar
Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Sulistiyo, bahwa munculnya
pesepsi dari ketiga unsur praktisi pendidikan tersebut disebabkan karena
Ujian Nasional tidak berhasil meningkatkan semangat belajar,
menimbulkan kecurangan, menimbulkan ketegangan murid, dan menanamkan
mental koruptif pada anak. (Kompas.com, 16-04-2013).
Untuk meredusir polemik dan masalah yang
berkaitan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional ini, sejak tahun 2011
pemerintah telah berkompromi dengan menetapkan “sharing”
kontribusi penentuan kelulusan siswa menggunakan formulasi : 40% nilai
sekolah dan 60% nilai ujian nasional. Tetapi ketentuan ini tampaknya
belum menjadi obat mujarab, malah beresiko memunculkan masalah baru
dalam bentuk praktik penggelembungan (bubble) nilai siswa, yang tidak menggambarkan kemampuan sebenarnya.
Dalam pandangan saya, ketika sekolah
memaksakan dan dipaksakan (oleh para pemaksa) untuk fokus pada ujian
nasional dan menjadikan ujian nasional sebagai tujuan, maka secara
langsung atau tidak langsung di sana akan terjadi pengikisan keutuhan
makna pendidikan. Proses pendidikan tidak lagi dipandang sebagai proses
pemanusiaan manusia, tetapi sudah tergelincir dan terjebak pada proses
dehumanisasi dan domistikasi guna mencapai target keberhasilan kognitif
semata atau mungkin target di luar kepentingan pendidikan itu sendiri.
Lebih parah lagi, ketika ujian nasional masih selalu diwarnai dengan
berbagai kecurangan yang sistemik dan disengaja [lihat tulisan ini, Oh, UN itu Begini?], maka anak-anak kita sesungguhnya telah kehilangan dua hal penting dalam hidupnya, yaitu intelektual sekaligus moralnya.
Tahun 2013 ini puteri bungsu saya
tercatat sebagai peserta Ujian Nasional SMA. Saya berusaha meyakinkan
anak saya untuk tidak tergoda menyontek. Saya katakan kepada dia, bahwa saya adalah orang yang lebih percaya pada proses ketimbang hasil.
Kewajiban dia adalah berusaha belajar dengan sebaik mungkin dan mengisi
soal-soal ujian nasional sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Persoalan hasil (lulus atau tidak lulus), itu adalah urusan Tuhan, bukan
menjadi kewajiban dia. Saya tegaskan pula, sebagai orang tua, saya
tetap bangga, kalau nanti hasil ujiannya tidak sesuai dengan harapan,
yang penting sudah berusaha sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya.
Begitulah refleksi saya terkait dengan hiruk pikuknya pelaksanaan Ujian Nasional 2013. Bagaimana menurut Anda?
Meski kita belum mampu menyediakan pendidikan yang terbaik untuk
anak-anak kita tetapi paling tidak berikanlah mereka pendidikan yang
tepat dan benar.